HARIANTERBIT.CO – Untuk mendukung program Kabinet Kerja di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo, telah ditetapkan target peningkatan pasokan daya listrik sebesar 35.000 megawatt (MW) dan harus tercapai pada 2019-2020.
Target yang harus dicapai sebesar 7.000 MW setiap tahunnya, sangatlah realistis, mengingat sedang berlangsungnya pembangunan infrastruktur di seluruh pelosok Tanah Air dan program peningkatan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan kegiatan ekonominya secara mandiri.
“Saat ini, kapasitas sumur-sumur dalam negeri semakin berkurang cadangannya, sedangkan pembukaan sumur-sumur baru di daerah lepas pantai membutuhkan dana besar. Di sisi lain, produksi CPO dari perkebunan kelapa sawit kurang menguntungkan karena panen CPO hanya berkisar 5.950 liter/hektar/tahun, bila dibandingkan dengan panen lemak (lipid) mikroalga, yang dapat diolah menjadi biodiesel (solar nabati), yang mampu mencapai 136.900 liter/hektar/tahun, atau 23 kali lebih banyak dari CPO,” ungkap Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup, Dr Agustinus Sonny Keraf, di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Kamis (1/12).
Jika hanya mengandalkan CPO, izin pembukaan lahan baru untuk kelapa sawit cenderung berlanjut dan menimbulkan tarik-menarik dalam peruntukan lahan dengan pertanian tananaman pangan dan perkebunan lainnya. Pemerintah perlu menghentikan izin perluasan perkebunan kelapa sawit dan segera beralih ke budidaya mikroalga di tambak-tambak kawasan pesisir. Total panjang pantai Indonesia yang sebesar 81.000 kilometer sangat potensial untuk pengembangan budidaya mikroalga.
Presiden Joko Widodo menegaskan, bahwa pemanfaatan energi nuklir merupakan pilihan terakhir. “Pemenuhan kebutuhan energi listrik dan bahwa bakar transportasi diprioritaskan pada pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan, antara lain energi matahari, energi angin, panas bumi, dan energi nabati,” ujarnya.
Diskusi nasional yang diselenggarakan di UKI ini merupakan perwujudan atas hak pilih masyarakat dalam cara memperoleh energi, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tenteng Energi. Pasal 19 dari UU tersebut menyebutkan tentang hak dan peran masyarakat yaitu, setiap orang berhak memperoleh energi.
Terkait dengan UU tersebut, rakyat berhak untuk menolak pembangkit tenaga listrik yang menggunakan sumber energi yang sangat berbahaya dan berisiko tinggi, yaitu energi nuklir yang diperoleh melalui reaski fissi. Seluruh PLTN di dunia menggunakan energi dari reaksi fissi dan dampak negatifnya dapat dilihat dari bencana-bencana di PLTN Three Mile Island, Chernobyl, dan Fukushima Daiichi, yang menimbulkan ribuan korban karena tercemar partikel radioaktif melalui pernafasan maupun makanan dan minuman. (dade)