HARIANTERBIT.CO – Sistem tilang yang berlaku sekarang ini seakan sudah menjadi yg terbaik, walau banyak peluang penyimpangan di sana sini. Beberapa kali untuk diperbaiki ada hal2 yg mementahkan atau membuat diskusi menjadi deadlock bahkan kembali enggan untuk membahasnya lagi.
Pemikiran-2 yg terbelenggu (captive mind) masih saja merajai dan menguasai mind set pemangku kepentingan, antara lain :
1. Mempertahankan kewenangan atau kekuasaan sehingga tatkala akan dirubah menjadi perebutan-2 sumber daya, yang direfleksikan dari sikap keinginan mengatur, menguasai dan memonopoli dana penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tilang, penentuan insentive petugas dilapangan, hingga hakim yang merasa terkurung kewenanganya (merasa tidak bebas lagi).
Dampak dari sikap tersebut akan menjadikan saling mempertahankan ego sektoralnya, yg lupa bahwa dirinya menjadi aparatur negara adalah sebagai penegak hukum dan keadilan.
Seakan memalingkan pandangan dan bersikap permisive atas penyimpangan walau sudah sampai titik nadir (yaitu hukum kehilangan wibawanya/ penegakkan hukum menjadi sarang pungli + penyalahgunaan kewenangan).
2. Melakukan perubahan adalah pekerjaan baru, menambah beban pikiran, hingga anggaran. Perubahan dianggap sebagai beban, walau masyarakat sudah berteriak tidak tahan tetap saja asyik dengan sikap mempertahankan status quonya. Tatkala ada ide-2 pembaharuan disikapi dengan skeptis bahkan dengan sinis dijudge sebagai mimpi / kebanyakan teori+ mimpi.
3. Memodernisasi sistem tilang dianggap ancaman bagi kenyamanan + kemapanan yang ada sekarang ini. Seakan merusak kewenangan/kesempatan bahkan tatanan yang sudah begitu mengakar di mana2. Ketakutan menjadi online / dengan elektronik, mendorong menggagalkan / bahkan merusaknya dari dalam baik dari konsep, administrasi, hukumnya hingga sistem2 yg sudah dipersiapkan.
4. Berlindung pada aturan hukum yg menyatakan bahwa pelanggar yg titip sidang dikenakan denda maksimal. Walau ada rasa ketidak adilan tetap saja dipertahankan. Menganggap apa yang telah tertulis tetaplah tertulis. Keanehan ini sering disampaikan pelanggar yg sudah mengakui bersalah berniat baik membayar denda di bank tetap saja dikenai denda maksimal bahkan sering ditakut2-i / diberi pilihan ke bank mahal, di sini murah.
Pungli di sidang pengadilan yang juga dikuasai calo sudah didepan mata namun keberanian mengambil tindakan restorative justice tetap saja terkendala karena memang aturan itu dijadikan senjata + tameng untk mempertahankan status quonya.
Point2 di atas itulah yg dalam hukum progresif bisa saja diambil tindakan restorative justice agar tujuan penerapan hukum bisa tercapai. Kewibawaan hukum + penegak hukumnya kembali menjadi ikon kemanusiaan, keadilan + keselamatan. Implementasi hukum progresif dapat ditunjukkan dengan:
1. Para pemangku kepentingan terutama cjs berani sepakat untk mengambil keputusan bersama memangkas pungli dan memutuskan bahwa pelanggar yg bersedia menitipkan denda sidang di bank tidak dikenakan denda maksimal dan putusan hakim bersedia untuk menyesuaikan dengan tabel denda yang sudah diputuskan.
2. Mensosialisasikan bahwa pembaharuan sistem hukum adalah sebagai reformasi birokrasi + sebagai gerakan moral inisiatif anti korupsi yg beranimendeklarasikan ” titip denda di bank tidak hadir dalam sidang”. Dan ada kepastian bahwa tidak diperas atau menjadi terpaksa menyuap.
3. Memperbaiki sistem tilang baik yg manual yg dikaitkan dengan program-2 de merit point system. Mengembangkan implementasi Penindakkan secara online baik dari petugasnya maupun dari pelanggaranya dalam membayar denda ke pengadilan.
Menyiapkan sistem-2 online yg disinergikan melalui back office, berbagai aplikasi yang terhubung satu dengan lainya, sehingga pelayananya menjadi cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses.
4. Dalam sistem online + elektronik akan dapat menerapkan juga model vicarious liability (pemilik kendaraan bermotor maupun corporate ikut bertanggung jwab atas pelanggaran + dampaknya, tidak semata mata hanya tanggung jawab pengemudi saja).
Hukum progresif diterapkan karena menyadari hukum selalu dirasakan tertinggal dari kecepatan perubahan dalam masyarakatnya. Selain itu juga menyadarkan bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya.
Maka para penegak hukum diberi kewenangan diskresi, altrnative dispute resolution maupun restorative justice, agar tatkala hukum tidak lagi menemukan rasa keadialn, dapat diabaikan.
Landasan / dasarnya adalah untuk :
1. Keadilan,
2. Kemanusiaan,
3. Kepentingan yang lebih luas (penyelamatan, pencegahan konflik yang lebih luas dsb),
4. Edukasi. Di luar hal-2 tersebut akan rentan menjadi korupsi. Bayley menyatakan : “the eksesive of discretion is a potential source corruption. -Penulis Chryshnanda DL. Kabidbin Gakkum Korlantas Polri