DIALOG KAPOLRI-AKTIVIS: TINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP POLISI

Posted on

HARIANTERBIT.CO – Para aktivis lintas generasi merespons positif tekad Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap institusi kepolisian. Untuk itu, polisi dituntut mampu meningkatkan kinerjanya, tidak tebang pilih dalam penegakan hukum, tidak terjebak politisasi atau menjadi alat kekuasaan, dan mengembangkan tradisi dialog dengan kelompok-kelompok strategis di masyarakat.

Pandangan para aktivis ini disampaikan dalam dialog antara Kapolri Tito Karnavian dan aktivis lintas generasi di Resto Pempekita, Jalan Tebet Timur Dalam 43, Jakarta Selatan, Senin (24/10) malam.

Acara yang dipandu oleh Bursah Zarnubi itu dihadiri sekitar 100 aktivis lintas generasi. Dari generasi yang paling senior hadir antara lain Tokoh Malari Hariman Siregar, M. Hatta Taliwang, dan mantan Direktur Walhi Zulkarnain. Dari generasi berikutnya, tampak Ketua PRD Agus Jabo, Dr. Syahganda Nainggolan, advokat Ari Yusuf Amir, Hamid Basyaib, Wakil Rektor Unas Dr. Zainul Djoemadin, Dr. Sidrataha, Dr. Alfan Alfian, Dr. Herdi Sahrasyad, Beathor Suryadi, Ichan Loulembah, Anhar Nasution, Kisman Lakumakulita, Abdul Malik, Fadli Nasution, Dirut SUN Institute Andrianto, Ketua Prodem Bob Randilawe, dan Ketum Higemura Muhlis Ali. Sedangkan dari generasi yang lebih muda hadir antara lain Ketua Presidium Humanika Sobarul Fajar, anggota Komisi XI DPR Muhammad Sarmuji, mantan Ketua Presidium GMNI Twedy Noviandy, Ketua GPII Karman BM, mantan Ketum DPP IMM Beni Pramula, dan mantan Ketuam PB HMI Hasanuddin.

Dialog diawali dengan pengantar singkat dari Hariman Siregar yang oleh Bursah Zarnubi dan Hamid Basyaib disebut sebagai “Mbahnya Aktivis”. Hariman mengapresiasi kesediaan Tito Karnavian untuk berdialog terbuka dengan para aktivis yang dikenal memiliki pandangan kritis terhadap kekuasaan. Dialog seperti ini, kata Hariman, harus dilembagakan untuk mencari solusi atas berbagai persoalan bangsa yang pasti tidak bisa diatasi sendiri oleh penguasa. “Civil society adalah pilar penting di negara demokrasi, selain pilar lainnya yakni rule of law, pers yang bebas, dan parpol yang benar,” ujarnya.

Tito Karnavian mengawali dialog dengan mengemukakan dua hal. Pertama, perkembangan politik global pasca era perang dingin yang diawali oleh pecahnya Uni Sovyet dan bersatunya dua negara Jerman di awal tahun 90-an. Mengutip Yoshihiro Francis Fukuyama, penulis buku “The End of History and The Last Man”, Tito memaparkan gelombang besar selama 20 tahun terakhir yang mengarah pada kemenangan sistem demokrasi liberal. Negara-negara yang menganut sistem kepemimpinan diktator-otoriter satu demi satu tumbang. China sebagai negara komunis berpenduduk terbesar di dunia mengadopsi kapitalisme dan ekonominya setelah itu tumbuh sangat pesat.

“Sadar atau tidak, Indonesia sudah mengadopsi sistem demokrasi liberal dengan ciri khas seperti yang disebutkan oleh Bang Hariman tadi ditambah isu penegakkan HAM. Intinya kedaulatan kini berada di tangan rakyat dan karena itu rakyat semakin kritis dan punya ekspektasi tinggi terhadap kinerja lembaga-lembaga pemerintahan, termasuk polisi,” kata Tito.

Meningkatkan Public Trust

Masalah kedua yang dikemukakan Tito adalah merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Mengacu pada hasil survei yang dirilis beberapa lembaga survei, Kapolri yang dilahirkan di Palembang pada 26 Oktober 1964 ini merasa risau dengan kenyataan bahwa Polri termasuk salah satu lembaga negara yang tidak dipercaya publik bersama dengan DPR dan Partai Politik. Sedangkan lembaga yang dipercaya publik adalah KPK dan lembaga Kepresidenan.

“Kalau public trust terus turun, itu berbahaya bagi lembaga kepolisian. Bisa direposisi, bisa dikurangi perannya, atau yang paling ekstrim bisa dibubarkan,” kata Tito.

Karena itu, Tito bertekad untuk meraih kepercayaan publik terhadap institusinya melalui tiga pendekatan: peningkatan kinerja dan profesionalisme anggota Polri, perbaikan kultur, dan penanganan media terutama media nonkonvensional seperti medsos yang saat ini punya pengaruh besar di masyarakat. Secara terbuka, Kapolri menyebut beberapa contoh yang menunjukkan rendahnya kinerja dan buruknya kultur di kepolisian. Mulai dari pungutan liar dalam pembuatan SIM dan SKCK, hingga mental anggota yang hanya mau menangani kasus jika ada uangnya.

Sebagai bagian dari upaya peningkatan kinerja dan perbaikan kultur di lingkungan kepolisian, menurut Tito, kini sedang digalakkan operasi internal yang berlaku di seluruh jajaran Polri. Dari operasi internal tersebut sudah ada 235 anggota Polri yang ditangkap dan saat ini sedang diproses mana yang masuk ranah pidana dan mana yang masuk pelanggaran etik.

Dalam sesi dialog, sejumlah aktivis mencecar Tito Karnavian dengan pertanyaan dan penyampaian fakta-fakta yang menunjukkan buruknya kinerja kepolisian di lapangan. Dr. Sidrataha mempertanyakan proses pelembagaan atau institusionalisasi dari keinginan Kapolri untuk meningkatkan kinerja dan memperbaiki kultur anggota kepolisian di level bawah. Ketua PRD Agus Priyono, atau lebih populer disapa Agus Jabo, mempersoalkan posisi Polri dalam menangani konflik agraria. Menurut Jabo, dalam banyak kasus konflik agraria yang diadvokasi oleh rekan-rekannya, polisi lebih sering memihak pengusaha yang jelas-jelas merampas hak petani. Jika terjadi benturan antara petani dan preman-preman perusahaan, justru petani yang kemudian dikriminalisasi. Sedangkan Twedy Noviandy menyarankan kepada Kapolri untuk meningkatkan operasi Pembinaan Masyarakat (binmas) dan mengefektifkan saluran telepon 110 sebagai media pengaduan masyarakat.

Kasus Ahok

Selain hal-hal tersebut, sejumlah aktivis juga mempersoalkan indepedensi institusi kepolisian dalam menegakkan hukum. Andrianto misalnya, mempertanyakan lambannya proses hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), padahal yang bersangkutan sudah dinilai melakukan penistaan agama oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Aksi unjuk rasa agar Ahok ditangkap bukan hanya terjadi di Jakarta, tapi sudah meluas ke berbagai kota. Isu ini juga sudah menjadi sorotan dunia. Andrianto berharap agar polisi tidak tebang pilih dalam penegakan hukum, karena inilah yang akan membuat kepercayaan masyarakat terhadap polisi semakin merosot. Ia juga meminta Polri bersikap netral dalam menghadapi Pilkada, baik di DKI Jakarta maupun di daerah lain. Pendapat Andrianto didukung oleh beberapa pembicara lainnya, antara lain Abdul Malik.

Syahganda Nainggolan memaparkan sejumlah fenomena yang menunjukkan terjadinya perubahan perspektif dan pola perilaku di masyarakat. Apa yang dulu termasuk milik publik seperti pantai kini dalam kasus Ancol, pulau Reklamasi, dan pantai-pantai di sejumlah daerah telah menjadi barang privat. Kemenangan sistem demokrasi liberal dalam tatanan politik dunia, seperti yang diintrodusir antara lain oleh Fukuyama, juga menimbulkan perubahan cara pandang dan perilaku di masyarakat yang bisa berimbas pada terjadinya benturan peradaban.

Kasus Ahok, menurut Syahganda, adalah contoh dari perilaku yang menabrak nilai-nilai luhur yang selama ini dianut bangsa Indonesia. “Ahok sudah menabrak nilai-nilai kesantunan, toleransi, harmoni, prinsip persatuan, serta keadilan sosial yang menjadi inti dari Pancasila,” ujarnya.

Dalam menghadapi berbagai gejolak perubahan pesat di dunia yang dalam waktu singkat pasti juga berimbas kepada pandangan dan prilaku masyarakat Indonesia, kata Syahganda, diperlukan dialog intensif antara pemangku pemerintahan dan civil society. Tidak boleh ada kesombongan struktural bahwa berbagai masalah yang muncul di tengah masyarakat akan dapat diatasi oleh pemerintah saja.

Tito menyambut baik berbagai kritik dan masukan yang disampaikan para aktivis. Khusus tentang kasus Ahok, ia meminta masyarakat bersikap jernih. Di satu sisi, masyarakat sudah punya persepsi bahwa Ahok melakukan penistaan agama. Apalagi ada pernyataan dari MUI yang menyatakan seperti itu.

Kapolri menyatakan bahwa institusinya menghargai sikap MUI dan sejumlah ulama yang menyatakan bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama. Masalahnya, kata Tito, Polri punya protap dan rezim hukum yang harus diikuti dalam memproses suatu kasus, yakni mendengarkan pendapat dari saksi ahli yang mencakup tiga bidang: agama, bahasa, dan hukum pidana. “Polri tidak bisa mengambil kesimpulan sebelum proses ini dilalui,” kata Tito.

Dalam kasus Ahok, Tito menyatakan, polisi berada dalam posisi dilematis. Kalau tidak diproses polisi dianggap tidak fair. Sebaliknya kalau Ahok ditangkap tanpa memenuhi standar prosedur yang ada, polisi bisa dituduh oleh pihak lain telah melakukan politisasi dan mengganjal Ahok dalam proses Pilgub DKI.

Menurut Tito, Senin siang Ahok sudah datang ke Bareskrim atas kesadaran sendiri untuk menyampaikan klarifikasi terkait kasusnya. “Percayakan ke polisidan silahkan awasi perkembangannya. Kalau ada proses hukum yang salah, lawan dengan cara hukum. Bukan dengan mengerahkan massa,” kata Tito.

Tito menyambut baik kesediaan aktivis untuk berdialog secara terbuka. Sebelum menutup dialog, ia mengingatkan agar semua pihak mencegah terjadinya konflik horisontal. Jika terjadi konflik horisontal, katanya, Indonesia set-back, ekonomi akan terpuruk, investor lari, terjadi capital flight, dan yang bertepuk tangan adalah negara tetangga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *