HARIANTERBIT.CO – Perhelatan World Culture Forum (WCF) akan kembali digelar kali kedua, sejak diselenggarakan pada 2013 lalu. WCF 2016 berlangsung selama lima hari di Nusa Dua Convetion Center, Nusa Dua, Bali, pada 10-14 Oktober, dengan mengusung tema ‘Culture for an Inclusive Sustainable Planet’.
Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengungkapkan, WCF 2016 diharapkan akan menjadi wadah bagi peserta untuk berinteraksi dengan kekayaan budaya Indonesia.
“Indonesia, sebagai rumah kebudayaan yang luar biasa kaya, dan harus melihat budaya bukan semata sebagai warisan tetapi sebagai elemen dasar masa depan,” tutur Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid di Ruang Sidang Graha Utama Gedung A Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Selasa (4/10).

“Rumah budaya Indonesia memiliki banyak unsur, sehingga kita dapat menyaksikan bagaimana masyarakat membentuk sebuah ekosistem. Kekayaan kita akan menjadi inti utama untuk didiskusikan, sehingga pada perhelatan WCF 2016, Indonesia bukan sekadar sebagai negara tuan rumah saja, tetapi dapat menjadi tempat bagi para peserta mendapat pengalaman baru dengan kekayaan budaya kita,” lanjut Hilmar.
Hilmar menuturkan, terdapat beberapa pondasi di rumah budaya Indonesia yaitu pertama, keragaman yang luar biasa sehingga hal itu bisa menjadi modal untuk berkembang. Kedua, adanya harmoni. Indonesia memiliki kemampuan untuk membentuk harmoni melalui persatuan dan kesatuan. Ketiga, jembatan yang mengaitkan jarak, ruang berkarya, dan berkiprah secara kebudayaan.
“Keempat, memasukkan komponen lingkungan hidup di dalam berkarya dan membangun kebudayaan. Kelima, menempatkan desa agar dapat mengalami pembangunan berkelanjutan. Keenam, keberadaan teknologi untuk mewarnai perkembangan kebudayaan Indonesia,” papar Hilman.
Kemendikbud berharap, WCF 2016 dapat menjadi jembatan tiga komponen yakni, jembatan antara masa lalu dan masa depan, jembatan generasi kemarin dan generasi masa depan, dan jembatan antara warisan kemarin dengan lapang baru atau landscape yang moderen.
“Setidaknya terdapat 1.500 peserta dari 65 negara asal akan berpartisipasi di forum ini. Pada sisi konsep penyelenggaraan, ia menuturkan dua hal berbeda yang di WCF 2016, yaitu adanya agenda kunjungan ke lapangan, dan keikutsertaan kaum muda,” Hilman Farid.
Agenda kunjungan ke lapangan, sambung Hilmar, merupakan bagian integral dari forum. “Kesenian di sini bukan dekorasi tapi cara ekspresi. Begitu pula kunjungan ke lapangan, bukan pengisi waktu senggang, tapi sebagai cara agar peserta dapat mengalami bersama apa yang dibicarakan,” jelasnya.
Selain itu, keikutsertaan kaum muda pada WCF 2016 akan dilibatkan ke dalam perhelatan Youth Forum yang dimulai di awal Oktober 2016, atau 12 hari sebelum forum utama dimulai.
Kegiatan ini bertujuan agar kaum muda mendapatkan kesempatan cukup untuk membicarakan berbagai hal penting di antara mereka sendiri. Kemudian, hasil pembicaraan akan disampaikan di dalam forum WCF. Sekira 200 orang pemuda yang terbagi atas 100 orang yang berasal dari luar negeri, dan 100 orang dari dalam negeri akan turut serta di Youth Forum.
“Kita cenderung definisikan budaya itu dari sisi orang tua, padahal anak muda harus diberikan ruang untuk mendefinisikan dan mengekspresikan kebudayaan menurut anak muda,” ujar pria kelahiran Bonn, Jerman, 48 silam ini.
WCF merupakan perhelatan berskala internasional yang terselenggara sebagai inisiatif untuk mewujudkan Indonesia sebagai tuan rumah budaya di tingkat internasional, untuk membahas isu-isu strategis dan dapat merekomendasikan kebijakan untuk pengembangan budaya dunia berkelanjutan, khususnya yang berkaitan dengan perdamaian, kemakmuran, pelestarian, dan pengembangan kualitas hidup tingkat tinggi bagi peradaban global. Pemilihan lokasi penyelenggaraan di Bali karena pertimbangan Pulau Dewata ini sebagai pusat untuk melakukan diskusi-diskusi pembangunan kebudayaan dunia. (*)
—
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid (tengah), saat memberi keterangan pers mengenai perhelatan WCF 2016 di Nusa Dua, Bali.