MUDAHNYA REMISI, KURANGI EFEK JERA NARAPIDANA

Posted on

HARIANTERBIT.CO – Pemberian remisi atau pengurangan hukuman merupakan hak narapidana. Namun pemberian remisi perkara korupsi dinilai tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor.

Pemberian remisi kepada narapidana kasus tindak pidana korupsi dianggap melemahkan apa yang telah diperjuangkan oleh KPK. Namun Menkumham Yasonna Laoly beralasan pemberian remisi tersebut lantaran lembaga pemasyarakatan (lapas) penuh.

“Kami menyesalkan sebegitu banyak remisi sehingga membuat efek jera berkurang. Sebagai penegak hukum kami sudah membangun kasus sedemikian rupa sampai dakwaan dan tuntutan, tapi setelah in kracht (berkekuatan hukum tetap) malah ada ada remisi yang mengurangi masa tahanan,” kata pelaksana tugas (Plt) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di Gedung KPK, Jl Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (18/8).

Salah satu koruptor yang mendapatkan remisi yaitu Muhammad Nazaruddin dan Gayus Tambunan. Pengurangan masa tahanan tersebut sangat disesalkan KPK.

Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) pada perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-71 memberikan remisi kepada mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang menjadi narapidana kasus korupsi wisma atlet SEA Games 2011 mendapatkan remisi sebanyak lima bulan, sedangkan istrinya Neneng Sri Wahyuni mendapat remisi enam bulan sebagai narapidana kasus korupsi pengadaan dan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans).

Sedangkan untuk narapidana korupsi lainnya seperti, Sutan Bhatoegana, Anas Urbaningrum, Andi Alifian Mallarangeng, Suryadharma Ali, Dada Rosada, Angelina Sondakh, mantan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Hanura Dewie Yasin Limpo tidak mendapatkan remisi.

“NSW (Neneng Sri Wahyuni) dan MNZ (Muhammad Nazaruddin) ada surat keterangan justice collaborator (JC)-nya. Tapi sebenarnya KPK hanya memberi surat keterangan JC, kalau Kemenkumham meminta rekomendasi, kita sampaikan apakah surat keterangan JC itu terbit atau tidak. Jadi KPK hanya membalas surat dari Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham, bukan KPK yang merekomendasikan untuk remisi,” tambah Yuyuk.

Menurut Yuyuk, KPK pernah menerbitkan surat keterangan telah bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memperoleh hak remisi berdasarkan surat KPK No KET-30/55/07/2014 pada 21 Juli 2014. “Tapi untuk rekomendasi pemberian hak asimilasi dan pembebasan bersyarat atas nama NSW tidak pernah diberikan,” ungkap Yuyuk.

Sedangkan terkait dengan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang melonggarkan syarat pemberian remisi dan pembebasan untuk narapidana termasuk koruptor dengan menghilangkan syarat sebagai ‘justice collaborator’ dan persetujuan tertulis dari instansi yang menangani termasuk dalam hal ini KPK, KPK sudah mengirimkan surat keberatan.

“KPK sudah mengirim surat keberatan tentang pemberian JC untuk remisi dan pengantian uang lunas yang katanya dihapuskan sebagai syarat mendapat remisi. Biro hukum sudah empat kali ikut pembahasan dan bahkan kami sudah mengirim surat keberatan ke Menkumham dan ditembuskan ke Presiden. Kami ingin PP ini dibahas tidak tergesa-gesa dan banyak pihak yang dimintai pendapat,” tegas Yuyuk.

Sindir Menkumham
Sementara itu pegiat antikorupsi, Emerson Yuntho, mengomentari pernyataan Menkumham Yasonna, itu alasan yang mengada-ada. Apalagi dengan adanya draf revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang dianggap lebih memudahkan pemberian remisi termasuk kepada narapidana kasus tindak pidana korupsi (tipikor).

Dari data Kemenkumham, hingga Juli 2016 ini, hanya ada 4.907 narapidana kasus tindak pidana korupsi. Angka ini amat rendah dibandingkan narapidana kasus tindak pidana narkotika yang mencapai 77 ribu.

Yasonna yang menyebut bahwa lapas ‘over capacity’ memang benar adanya, tetapi mayoritas untuk narapidana kasus tindak pidana narkotika. Sedangkan, jumlah narapidana kasus tipikor yang hanya mencapai 4.907 per Juli ini tentunya tidak relevan dengan alasan yang disampaikan Yasonna.

“Tahukah Anda bahwa jumlah napi korupsi hanya 1,92 persen dari total napi di seluruh Indonesia. Apakah kebijakan kemudahan remisi untuk koruptor akan mengurangi kelebihan kapasitas di penjara? Hallllooo Pak Menteri,” sindir Emerson.

Data Dirjen Pemasyarakatan per Juli 2016 menyebutkan jumlah tahanan dan narapidana seluruh Indonesia mencapai 197.670 orang dan 3.801 (1,92 persen) orang di antaranya adalah napi korupsi. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *